Jumat, 15 Desember 2017

Review novel CINTA TAK PERNAH TEPAT WAKTU karya Puthut EA


Cinta Tak Penah Tepat Waktu karya Puthut EA adalah buku kesekian yang saya baca namun entah mengapa saya ingin menulis reviewnya dari buku ini. Mungkin karena mewakili kisah saya, aduh, mungkin sih.
Baiklah kita mulai saja sebelum rasa malas menjalar ke dalam kamar.

Dalam buku ini penulis menceritakan pengalamannya dalam mencari seorang kekasih yang diharapkan oleh orangtuanya menjadi menantu dalam waktu "secepatnya". Seperti mendapat desakan dari kedua orangtuanya, tidak banyak yang bisa si Aku lakukan untuk memperkenalkan calon menantu yang diharapkan. Sering mendapat cecaran pertanyaan dari orangtuanya, tapi dengan lihai si Aku memberi alasan. Hingga suata saat Ibunya memperkenalkan temannya yang baru, dia adalah seorang dokter yang ditugaskan di desa Ibunya. Berkenalan, tapi sayang, belum bisa menentukan dia layak atau tidak jadi kekasihnya. Atau mungkin si Aku belum siap dengan itu semua. Sirna, ya sudah.

Banyak pengalaman yang diceritakan di sini, tentunya tentang hubungan-hubungan si Aku dengan para kekasihnya. Seperti kisah si "Boy" di film jadul itu. Mempunyai banyak kekasih sehingga ada sangkaan si Aku itu adalah playboy. Karena kepintaran dan ketenaranlah ia dikenal banyak orang, tidak heran jika ia mempunyai kekasih di sini, di situ, atau di sana. Tapi itu dulu, ketika wabah penyakit merenungi hidup belum melandanya.

Ia gampang jatuh hati, hingga pada suatu hari dia berkenalan dengan perempuan. Menaruh harap yang besar pada perempuan itu, tapi akhirnya sakit yang didapat, patah hati yang menerjang. Berulang kali ia merasakan itu, hingga kacau dan mencoba menenangkan diri dengan alkohol atau ganja atau lain sebagainya. Menyedihkan sekali rasanya. Lalu ia berpikir, mungkin ini akibat dari perlakuannya kepada perempuan perempuan sebelumnya, datang dan pergi begitu saja tanpa memikirkan siapa yang terluka.

Si Aku ini berprofesi sebagai "pembunuh bayaran". Wih keren! Tenang, "pembunuh bayaran" di sini bukan membunuh manusia atau makhluk hidup lainya, tapi suatu pekerjaan yang bebas tidak ada aturan dan keterikatan.
Jika seusai lulus sekolah tidak mempunyai pekerjaan tetap alias serabutan, dan cukup punya reputasi bagus dalam pekerjaan serabutan itu dan bertahan selama tiga tahun untuk hal seperti itu, makan akan dijuluki "detektif partikelir" di kalangan itu. Jika bertahan sepuluh tahun, tentu reputasinya semakin baik maka akan dijuluki "pembunuh bayaran". Memasuki tahun kesepuluh maka akan dijuluki "setan belang". Jika memasuki tahun kedua puluh maka akan dijuluki "dewa laut". Gimana, keren bukan?

Ada bab menarik di dalam buku ini. Ya memang semuanya menarik, mungkin lebih tepatnya tertipu oleh bab itu. Pembaca pasti akan heran kenapa dibagian tengah sipenulis malah menemukan cinta sejatinya, bisa menikah. Namu. Kejanggaln pasti hadir dalam benak pembaca. Kok bisa? Dengan khusuk akan terus menikmati bagian itu dan pada akhirnya itu hanya mimpi. Oh... luarbiasa memang, penulis menipu pembacanya dengan takjub. Aku bersungut-sungut setelah sadar ternyata kena tipu. Bangsat!

Bagian-bagian berikutnya tidak kalah menarik. Ada lamunan yang membahas masa kelam di Indonesia, masa dimana banyak demo di sana-sini. Dengan bagus menyampaikannya, padahal itu hanya kisah orang lain yang sengaja diselipkan di dalam novel ini. Mantap!

Sampai bagian akhir, penulis pun tak kunjung menemui kekasih yang pas untuk dinikahi. Semuanya terasa berat. Usahanya selalu jadi pesakitan yang memanjang. Bahkan ia tidak pernah bisa tidur dalam waktu tiga hari tiga malam hanya karena patah hati. Memang patah hati itu menyusahkan.
Si penulis pun akhirnya selalu hati-hati dalam urusan perasaan, tidak terburu-buru, tidak mau mengulangi kesalahan kesekian kalinya.

Pada akhir bagian novel ini, yaitu bagian Ucapan Terima Kasih. Ia berkata: "Buku ini, semoga bisa menjadi  pengganti bagi menantu yang tidak kunjung saya dapatkan untuk mereka (orangtua). Ternyata jauh labih mudah membuat novel daripada mencari kekasih.

Maafkan saya yang tidak pandai ini. Saya memberanikan diri mereview buku. Aduh, malu rasanya. Jika ingin mencaci, caicilah sesuka hati, itu lebih baik daripada cemooh yang tak tersampaikan.
Semoga bermanfaat...
#MariMembacaAgarTidakButa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar